Source: https://podzolik.com/index.php/2021/04/21/regulasi-produk-biotek-di-indonesia-sudah-lengkap/
Summary:
PODZOLIK.COM—Kebutuhan kedelai nasional berkisar 2,5—3 juta ton saban tahun, dengan jumlah pasokan kelelai lokal hanya 600 ribu ton, sedangkan sisanya didatangkan dari impor. Dari angka kebutuhan tersebut hampir 70% digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe, 25% untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lainnya.Pada 2019, Indonesia diketahui mengimpor sebanyak 2.67 juta ton kedelai, dengan 2,51 juta ton diantaranya berasal dari Amerika Serikat, serta sisanya dari Brazil, dan Kanada. Faktanya, di Amerika Serikat lebih dari 90% dari total kedelai yang diproduksi merupakan kedelai GMO/PRG.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Prof. Bambang Prasetya, Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika. Menurut Bambang, 80% produk tempe yang ada di Indonesia menggunakan kedelai Produk Rekayasa Genetika (PRG).
“Banyak orang Indonesia tidak menyadari makan tempe dari kedelai hasil rekayasa genetika Amerika Serikat,” ungkapnya dalam webinar Status Regulasi Tanaman Hasil Rekayasa Genetika di Indonesia yang diprakarsai IndoBIC, SEAMEO BIOTROP, PBPI, dan International Service for the Acquisition of Agri-biotech Applications (ISAAA). (20/4/2021)
Pertanyaan lanjutan muncul, jika kita rutin mengonsumsi produk rekayasa genetika (PRG), kenapa Indonesia tidak menam kedelasi PRG-nya saja. Menurut Bambang, impor kedelai biotek/PRG haruslah mempertimbangkan adaptasi lingkungan dengan persyaratan dan peraturan perundangan yang berlaku.
“Varietas-varietas kedelai yang sudah dikembangkan di dalam negeri sudah banyak dilakukan lewat penciptaan varietas kedelai PRG yang tahan hama, dan adaptif kondisi lingkungan di Indonesia melalui pilot project, demfarm, dan demplot. Namun belum ada produk kedelai PRG Indonesia maupun produk lainnya saat ini yang sudah dapat dikonsumsi secara luas,” ungkapnya.
Bambang menambahkan, sejauh ini sudah banyak produk biotek yang telah didaftarkan untuk mendapatkan sertifikasi aman pangan, pakan, lingkungan, dan pelepasan varietas. Namun regulasi terkait pengawasan dan pengendalian varietas tanaman biotek masih belum disahkan.
“Sampai akhirnya 30 Desember 2020 terbitlah Permentan 50 tahun 2020 terkait pengawasan dan pengendalian varietas tanaman produk rekayasa genetik pertanian yang beredar di wilayah Republik Indonesia sehingga melengkapi regulasi tanaman PRG di Indonesia,” ujar Bambang.
Di acara sama, Yusra Egayanti dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang juga Wakil Koordinator TTKH Bidang Keamanan Pangan, menyatakan, pangan PRG, baik impor maupun produksi lokal, wajib dilakukan pengkajian keamnaan pangan sebelum diedarkan.
“Persetujuan keamanan pangan diterbitkan oleh kepala Badan POM, dan jika sudah dinyatakan aman untuk dikonsumsi dan dijual dalam kemasan, maka label pangan wajib mengikuti PP NO.69TAHUN 1999,” ujarnya.
Yusra menambahkan, sejauh ini sudah ada 40 event pangan PRG yang telah mendapat persetuajuan keamaan pangan. Rincianya 20 komoditas jagung PRG, 13 komoditas kedelai PRG, 3 komoditas tebu PRG, 1 komoditas kentang PRG, 1 komoditas kanola PRG, dan 2 komoditas bahan baku PRG.
Terkait pelabelan produk PRG, Yusra menjelaskan, label pangan PRG wajib mencantumkan tulisan “Pangan Rekayasa Genetika”. Begitu pula jika pangan PRG merupakan bagian dari komposisi bahan suatu produk pangan, maka pada lebal komposisi bahan wajib dicantukan tulisan tersebut.
Hadir juga dalam webinar tersebut Dr. Mastur, Kepala Balai Besar Sumberdaya Genetika Pertanian/BB Biogen, Dr. Machmud Thohari dari Tim Teknis Keamanan Hayati Lingkungan, Dr. Zulhamsyah Imran, Direktur SEAMEO BIOTROP, dan Prof. Dr. Bambang Purwantara, Direktur IndoBIC.
Dalam paparannya Bambang Purwantara menyampaikan bahwa, berdasarkan laporan ISSA, sudah 190,4 juta hektare tanaman biotek/PRG ditanam di sekitar 29 negara di dunia.
“Tanaman biotek juga ditanam oleh negara berkembang seperti Vietnam, Filipina, dan Kolombia, sedangkan Indonesia baru memiliki satu produk biotek yaitu tebu tahan kekeringan milik PTPN XI yang telah mendapatkan sertifikasi aman pangan, pakan, lingkungan, dan pelepasan varietas,” tuturnya.
Sementara Zulhamsyah Imran, menjelaskan peranan Biotrop dalam mendukung penerapan bioteknologi di Indonesia terlihat dari kontribusinya dalam penelitian antara lain dengan melakukan rekayasa genetika untuk mendapatkan bibit unggul, identifikasi, dan kloning gen ketahanan terhadap hama dan penyakit serta penerapan kultur jaringan tanaman untuk penyediaan bibit unggul.
“Biotrop melakukan terobosan transformasi rumput laut menggunakan perantara Agrobacterium tumefaciens agar mendapatkan ketahanan terhadap hiposalin yang dilakukan Dr. Erina Sulistiani. Kedepannya Biotrop akan terus berbagai inovasi di bidang bioteknologi bukan hanya untuk produk tanaman, tetapi juga produk hewan bahkan perikanan,” pungkasnya. (sr)