Summary:
Dewan Pengurus Pusat Himpunan Alumni (DPP HA) IPB University bekerjasama dengan Direktorat Kerjasama dan Hubungan Alumni (DKHA) IPB University dan SEAMEO BIOTROP kembali menghadirkan Environmental Leader Talks Series 3, (16/9). Tema yang diangkat kali ini “Menurunkan Emisi Indonesia dan Lautan.” Kegiatan ini digelar dalam rangka membahas tuntas perubahan iklim dan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi dunia.
Laksmi Dhewanthi, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim mengatakan rata-rata peningkatan suhu bumi secara global telah berdampak pada ekosistem. Mengacu data bencana pada BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Indonesia mengalami peningkatan bencana hidrometereologi seperti banjir, badai, dan puting beliung.
“Indikator perubahan iklim tersebut menuntut semua negara untuk berperan menjaga kenaikan suhu tidak lebih dari dua derajat. Bahkan, didorong sekuat mungkin agar tidak melebihi satu setengah derajat,” papar Laksmi.
Ia menyebut, kerugian akibat perubahan iklim mempengaruhi pendapatan negara dan kesejahteraan masyarakat. Menurutnya, dampak negatifnya juga jangka panjang. Ia menyebut, data dan fakta yang ada diharapkan dapat menggugah semua lapisan masyarakat untuk melakukan perubahan.
“Edukasi lain dengan sains, kemudian dengan fakta-fakta dan sebetulnya kami tidak membuat fakta-fakta ini untuk menakut-nakuti. Tetapi untuk menyadarkan kita semuanya supaya melakukan perubahan dan perbaikan. Karena memang hanya kita yang bisa melakukan perubahan untuk bumi ini,” ungkapnya.
Sementara itu, Prof Rizaldi Boer, Direktur Eksekutif Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia Pasific (CCROM SEAP) IPB University mengatakan dampak negatif perubahan iklim yang mengkhawatirkan adalah semakin tingginya intensitas iklim ekstrim. Ia menyebut, masyarakat dunia seharusnya peduli dengan isu pemanasan global.
“Pemanasan suhu global ini seharusnya dapat mengubah pola perilaku masyarakat. Maksudnya, bukan hanya berpandangan pada ekonomi tetapi memperhatikan keberlanjutan layanan jasa ekosistem agar fungsi-fungsi hutan tetap dijaga karena sangat berperan dalam menyediakan jasa lingkungan,” papar Prof Rizaldi Boer.
Sementara itu, Dr Perdinan, Deputi Direktur SEAMEO BIOTROP menyebutkan pada tahun 2050, penduduk bumi diperkirakan menjadi 9 miliar jiwa. Dengan demikian, kebutuhan energi dan lahan untuk pangan akan meningkat.
“Dalam waktu 100 tahun, gas rumah kaca tidak akan berkurang walaupun berbagai upaya yang akan dilakukan manusia. Sehingga komitmen menekan kenaikan suhu bumi adalah satu-satunya upaya yang dapat dilakukan saat ini,” papar Dr Perdinan, dosen IPB University dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Tantangannya, lanjut Dr Perdinan, ilmuwan dan akademisi harus menerjemahkan informasi yang rumit kepada masyarakat awam terkait perubahan iklim. Generasi muda juga dapat membantu menginspirasi khalayak dan melakukan mainstreaming kesadaran perubahan.
“Itu poinnya, bagaimana kita bisa mempunyai environmental leader ini dan pasti jelas teman-teman muda yang (menjadi) influencer-influencer itu. Karena mereka berbicara dengan gaya bahasa mereka,” sebutnya.
Adapun Dr Yonvitner, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University mengatakan bahwa adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus dibedakan di hilir. Perbedaan tersebut memberikan mekanisme yang berbeda.
“Misalnya pada wilayah pesisir dan laut terdapat tekanan dinamika yang unik. Masyarakat pesisir harus lebih kuat beradaptasi dan memiliki mitigasi yang lebih baik daripada daratan,” terang Dr Yonvitner. (MW)
Published Date : 20-Sep-2021
Resource Person : Dr Perdinan, Prof Rizaldi Boer, Dr Yonvitner
Keyword : pemanasan global, perubahan iklim, bencana hidrometeorologi, lingkungan
SDG : SDG 13 - CLIMATE ACTION, SDG 15 - LIFE ON LAND, SDG 14 LIFE BELOW WATER
Download article